Mendung yang menggantung sore itu membuat
Banu mempercepat langkahnya. Keranjang bambu di punggungnya belum
separuhnya terisi meskipun dia berangkat dari rumah petaknya sejak pagi
buta.
Bayangan wajah emak yang terbaring sakit
memenuhi pelupuk matanya. Tak terasa air mata mengembun, pertanda
kesedihan teramat dalam di hatinya.
“Huss….huss….ayooo jangan di situ.
Sebentar lagi para tamu akan datang…..” tiba tiba seorang Satpam
menghalaunya saat langkah Banu terhenti di depan gerbang sebuah rumah
besar yang dihias indah. Ada pesta meriah rupanya. Meja disusun berderet
memanjang , berbagai hidangan prasmanan tertata rapi di atasnya,
menguarkan aroma yang menggugah selera.
Banu menghela nafas, mengisi paru parunya
dengan udara sepenuh mungkin. Harum masakan yang terhidang membuat
keruyuk di perutnya semakin terasa. Sambil menunduk, Badrun berlalu.
“andai emak bisa mencicipi sedikit, tentu ia akan segera sehat……”
gumamnya sedih.
***Menjelang tengah malam, Banu telah berdiri bersandar tiang listrik di seberang gerbang rumah besar itu. Dengan sabar, ditunggunya pembantu rumah itu menyelesaikan pekerjaannya. Di kejauhan, dilihatnya bi Siti membuka gerbang dan celingak celinguk seperti mencari seseorang.
Wajahnya segera cerah ketika dilihatnya
Banu mendekat. Segera diulurkannya tas plastik hitam berisi beberapa
tusuk sate ayam, sisa nasi dan seplastik kuah sop. Tangan Banu belum
sepenuhnya terulur ketika pentungan karet pak Satpam menahan bungkusan
itu. Bi Siti yang terkejut justru menjatuhkannya hingga isinya
berserakan.
“mang Jali….. bikin kaget aja….” Gemetar suara bi Siti, antara takut dan kaget.
“siapa yang suruh …haa?” hardik pak Satpam, matanya melotot marah.
“ini jatah bibi mang…..sengaja bibi
berikan buat emaknya……” jawab bi Siti, dagunya terarah kepada Banu.
“kasihan, sudah seminggu ini terbaring sakit. Banu masih terlalu kecil
untuk menanggung semua beban ini…..” lanjutnya. Air mata berderai
membasahi pipi keriputnya.
“tidak boleh….ayoooo pergi…pergiiii…..” hardik mang Jali, pentungannya teracung pada Banu yang berjongkok ketakutan.
Dengan langkah berat Banu menjauh. Bi
Siti mengusap air matanya sambil berbalik masuk. Tanpa disadarinya Pak
Ibrahim telah berdiri di belakang, memperhatikan tingkah mereka sejak
tadi.
“mang Jali……sini…..”
“siapa yang mengijinkanmu menghardik bocah seperti itu haa?” gelegar suara Pak Ibrahim.
“hayoooo….panggil bocah itu kemari. Cepaaatt” sentaknya lagi. Mang Jali pun terbirit birit menyusul Banu.
“bi Siti, tolong bungkuskan untuk bocah
tadi. Kudengar emaknya sedang sakit” kata Pak Ibrahim lembut. Matanya
berkaca kaca. Bi Siti mengangguk, lalu bergegas ke dalam rumah.
***Dua puluh tahun yang lalu, kehidupan Ibrahim kecil sangatlah sulit. Penghasilan ayahnya yang bekerja sebagai buruh tani, dan ibunya yang membantu memasak di rumah tetangga sangat tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari hari.
Tak jarang, Ibrahim kecil terpaksa
menjadi pengumpul barang bekas yang didapatnya dari rumah teman teman
sekolahnya. Pada awalnya ia sangat malu dan minder, karena pekerjaannya
itu. Ditambah lagi uang sekolahnya yang sering terlambat dibayarkan
membuat ia sering menjadi bahan olok olok di sekolahnya.
Sebelum meninggal, ayahnya pernah
berpesan padanya. “ tak ada yang akan menghinamu lagi bila kau pintar
dan jujur nak.” Pesan itu diingatnya baik baik, sebagai pemicu
semangatnya untuk belajar dan bekerja membanting tulang.
Usahanya tak sia sia, kerja keras dan ketekunannya membuahkan hasil yang menggembirakan. Ibrahim berhasil menembus SMP favorit dan memperoleh bea siswa. Begitupun di tingkat SLTA, ibunya tak pernah mengeluarkan sepeser uangpun untuk membiayainya.
Usahanya tak sia sia, kerja keras dan ketekunannya membuahkan hasil yang menggembirakan. Ibrahim berhasil menembus SMP favorit dan memperoleh bea siswa. Begitupun di tingkat SLTA, ibunya tak pernah mengeluarkan sepeser uangpun untuk membiayainya.
Dengan uang tabungannya, Ibrahim menyewa
lahan dan menjadi pengepul barang bekas. Kejujuran dan kepintarannya
telah terkenal di kalangan pemulung, toko langganannya dan beberapa
kompleks perumahan di sekitar rumah petaknya. Ibrahim berhasil menjadi
bos pengepul, dan kehidupannya berubah drastis.
Sayang ibunya tak sempat menikmati
keberhasilannya itu lebih lama. Dia meninggal saat Ibrahim sedang
mengirim barang ke Surabaya tanpa sempat tahu bila Ibrahim mendapatkan
kepercayaan dari boss besar di sana.
***Melihat Banu, Pak Ibrahim seperti melihat kembali masa lalunya yang kelam. Hidup kekurangan, ditinggalkan ayah saat masih belia, harus banting tulang …………. Dia menghela nafas, hatinya pedih tersayat sayat.
“sini…..sini nak….” Tangan Pak Ibrahim
menggandeng Badrun yang gemetar ketakutan. Dia tersenyum dan mendudukkan
bocah itu di kursi beranda.
Bi Siti muncul dari pintu samping. Di tangannya ada sebuah bungkusan dan kantung plastik besar berisi pakaian bekas.
Dengan lembut Pak Ibrahim mengulurkan bawaan itu kehadapan Badrun. Dirogohnya kantung celana, diangsurkannya segulungan uang ke tangan bocah kecil itu.
Dengan lembut Pak Ibrahim mengulurkan bawaan itu kehadapan Badrun. Dirogohnya kantung celana, diangsurkannya segulungan uang ke tangan bocah kecil itu.
Sambil menangis Banu menerima semua
pemberian itu. Mulut mungilnya tak henti hentinya mengucap terima kasih.
Bi Siti diam diam mengucap syukur sambil menyusut air matanya. Pak
Ibrahim tersenyum, dan segera menyuruh pembantunya mengantar bocah itu
pulang.
“terima kasih pak….saya permisi sekalian
pulang” bi Siti mengangguk hormat dan menggandeng Banu ke pintu gerbang.
Mang Jali termangu mangu, dan membiarkan mereka berlalu menembus
gelapnya malam.
Sayup sayup terdengar teriakan Bu Ibrahim
dari dalam rumah. Mang Jali menebalkan telinganya, tak mau mendengar
gerutu dan omelan majikan perempuannya itu.
Dia sudah hapal betul kelakuan nyonyanya
yang terkenal sangat pelit. Sudah bisa dibayangkannya bagaimana Pak
Ibrahim akan duduk diam di kursi tamu, sementara bu Ibrahim
menuding-nuding di depannya sambil berkacak pinggang.
***“siapa suruh kau bagi bagi makanan pak?” tanya bu Ibrahim sambil mondar mandir di hadapannya.
“aku teringat masa kecilku yang suram bu”…….. jawab pak Ibrahim, ditundukkannya wajahnya dalam dalam.
“itu makanan mahal pak….kau tahu itu….” Masih dengan nada tinggi bu Ibrahim menyela, kesal.
“kau boleh potong jatah makan malamku bu,
kalau makanan yang kuberikan tadi sangat berarti buatmu” kata pak
Ibrahim lembut. Kali ini sengaja tak didebatnya kata kata istrinya,
berharap kemarahan itu segera mencair dan mereda.
“lagi pula itu makanan sisa pesta tadi,
paling hanya kau buang ke tempat sampah….” Sahutnya lagi. Tak
dipedulikannya muka masam isterinya.
Bu Ibrahim mendengus kesal. Sambil
membanting bantal kursi dia berlalu ke kamarnya. Dihempaskannya pintu
itu sekuat tenaga hingga berdebum. Pak Ibrahim terlonjak, kaget.
Dipeganginya dada sebelah kiri yang tiba tiba nyeri. Sambil meringis
menahan sakit, dia mencari mang Jali ke depan.
“Mang Jaliiiii…..mang Jaliiiii….” Serunya, lalu iapun terjatuh di teras.
***Bu Ratna, istri Pak Ibrahim menangis tersedu sedu di samping pembaringan suaminya. Rasa sesal memenuhi rongga dadanya. Semalaman dia gelisah menanti suaminya mengetuk pintu kamar dengan mengiba iba seperti biasanya, tetapi hingga pagi menjelang suaminya tak kunjung mendekat.
Rupanya sebelum di bawa ke rumah sakit,
Pak Ibrahim sempat berpesan pada Mang Jali agar tak memberi tahu
istrinya. Dia tak ingin kecerewetan istrinya menambah sakit perasaannya.
Sudah terlalu lama ia memendam sakit hati di dadanya. Dia merasa tak
berdaya dihadapan istri yang sangat dicintainya itu.
“paaakk…..kenapa paaakk….” Rintih bu
Ratna. Matanya sembab, tangannya gemetar mengelus pipi suaminya yang
tertidur karena pengaruh obat.
“bu Ibrahim…..” dokter jaga menerobos masuk ke kamar.
“saya dok….”
“kita bicara sebentar. Bisa ke ruangan saya?” dr. Damar mendahului, bu Ratna mengekor di belakangnya.
“Pak Ibrahim terkena serangan jantung bu…apakah semalam ibu dan bapak bertengkar?” tanya dokter hati hati.
Bu Ratna mengangguk.
Bu Ratna mengangguk.
“sebaiknya perasaan bapak dijaga benar
benar. Jangan membuatnya terkejut, tertekan dan memikirkan yang berat
berat untuk sementara ini sampai kondisi Pak Ibrahim benar benar pulih”
lanjut dr Damar.
“saya usahakan dok…..lalu apa yang harus saya lakukan sekarang?”
“Pak Ibrahim biar istirahat barang sehari
dua di sini sambil menunggu hasil observasi. Besok kita akan melihat
apakah bapak bisa dibawa pulang” panjang lebar jawab dr Damar.
“baiklah….ini dulu yang saya sampaikan bu. Yang sabar yaa…..” dr Damar menepuk pundak bu Ratna perlahan.
***Tanpa sepengetahuan bu Ratna, suaminya telah memanggil pengacara pribadinya ke rumah sakit. Selama ini bila bu Ratna menunggui, Pak Ibrahim berpura pura masih sakit dan tak bisa apa apa. Bu Ibrahim dengan sabar akan menyuapinya, mengingatkan waktunya minum obat, dan menyeka keringat serta memandikannya setiap sore. Dia berubah lebih sabar dan perhatian. Sesekali Pak Ibrahim tersenyum di belakang punggung istrinya, dan sangat menikmati kasih sayang dan perhatian yang diberikan.
Anwar sudah tiga kali menjenguk Pak
Ibrahim. Yang pertama dia datang sendirian, sementara pada kunjungan
yang kedua, dia mengajak serta Banu. Bocah kecil itu mencium tangan Pak
Ibrahim, lalu duduk berdoa sangat khusyuk sambil berlutut di samping
tempat tidur.
Pada kunjungan yang ketiga, Anwar membawa
beberapa bendel kertas yang disodorkannya ke hadapan Pak Ibrahim. Saat
itu Bu Ratna sedang pulang ke rumah setelah menungguinya sejak pagi.
Berkas pengalihan kepemilikan perusahaan
telah selesai ditanda tangani. Satu unit rumah sederhana, rekening
tabungan dan biaya sekolah Badrun sudah beres diurus Anwar. Bi Siti
mendapat rumah, kios kelontong di pasar dekat rumahnya dan juga
tabungan. Pak Ibrahim tersenyum lega. Segala keinginannya sudah
terpenuhi, meskipun tanpa sepengetahuan istrinya.
***Pagi itu bi Siti sudah berdandan rapi, sebuah bungkusan besar teronggok di sampingnya. Mang Jali menenteng sebuah kardus besar dan berdiri di sampingnya.
Bu Ratna mondar mandir dengan gelisah.
Kedua pembantunya minta berhenti bekerja secara bersamaan. Sambil
bersungut sungut diulurkannya amplop berisi sisa gaji mereka, lalu
berbalik arah. Tak dipedulikannya uluran tangan bi Siti, apalagi mang
Jali. Dia hanya sedang menyembunyikan tangisnya.
Dering telepon membangunkannya pagi itu.
“bu Ratna….bu …mohon segera ke rumah
sakit sekarang….” Suara panik dokter Damar terdengar di seberang
telepon. Tanpa menjawab, bu Ratna segera menghambur ke jalan depan rumah
dan menyetop taksi yang kebetulan melintas. Dia lupa tak mengunci
pintu, apalagi menutupkan pintu gerbang.
Tergopoh gopoh ditujunya kamar perawatan suaminya. Dilihatnya
kesibukan luar biasa di sana. Dokter Damar sedang memasang alat pacu
jantung di dada Pak Ibrahim, sementara perawat sibuk mengecek aliran
infus dan mengecek denyut nadi di tangannya.
Dilihatnya dokter Damar menggeleng lemah.
“tidaaaaakkkk….pak….paaaakkkk”
Bu Ratna jatuh pingsan.
Dengan wajah pucat pasi, mata sembab karena kebanyakan menangis, bu
Ratna mengiringi jenasah suaminya di dalam ambulans pulang ke rumah. Tak
ada Mang Jali yang biasa diomelinya, tak ada bi Siti yang bisa
mendampinginya saat ini. Tak habis-habisnya dia menyesali sikapnya
selama ini.***
Betapa terkejutnya bu Ratna sesampainya di rumah. Pintu gerbang terbuka lebar, beberapa perabotan rumahnya berserakan di halaman.
Sambil melangkah menuju beranda bu Ratna
sibuk mengingat ingat. Ditepuknya jidatnya perlahan. Dia lupa mengunci
pintu rumahnya tadi.
Seolah melupakan jasad suaminya, bu Ratna histeris mengecek barang barang berharganya yang hilang.
Ruang tamunya berantakan, lemari di kamarnya bekas dijebol paksa. Tak ada lagi barang tersisa di sana.
“tidaaaakkkkk……………..”
Bruuuuggg. Bu Ratna jatuh pingsan.
***
Anda sopan kami Segan
Cantumkan Link Sumber,
Mari saling menghargai