Mak, kapan aku boleh seperti mereka …” tunjuk Badrun. Matanya berkabut, seakan berharap dapat jawaban yang memuaskan hatinya.
Mak Ijah buru buru menarik tangan
Badrun menjauhi gerbang sekolah. Hari ini mereka bangun kesiangan, dan
tempat sampah di depan gerbang telah kosong, sebelum Mak Ijah dan Badrun
mengais kertas, botol bekas air mineral dan apapun yang bisa mereka
dapatkan. Disekanya air mata yang mengalir turun membasahi pipinya yang
cekung. Derita hidup yang dihadapinya seakan jelas tergambar di sana.
“Nanti kalau mak sudah punya uang
banyak, kau bisa ikut bersekolah di sana ya …..” kata mak Ijah lirih.
Batinnya merintih sedih, “seandainya mas Karyo masih ada……” bisiknya,
seolah kepada diri sendiri.
“Horeee…. Badrun boleh sekolah ya mak ?
trus nanti pakai sepatu baru, tas baru, seragam baru seperti punya Dion
ya mak ? “ celoteh riang anak semata wayangnya. Mak Ijah tersenyum
melihat binar sepasang mata itu, jelas menyiratkan kebahagiaan.
*****
Mereka menyusuri jalanan
yang mulai disesaki mobil pengantar yang menuju sekolah itu. Sekolah
elite, sekolah unggulan, sekolah orang orang berduit…..dan
apalah namanya. Mak Ijah tak dapat membayangkan berapa banyak uang yang
harus dibayarkannya untuk Badrun, agar bisa bersekolah di sana.
Badrun menggandeng tangannya, sementara
tangan yang satunya lagi menenteng karung plastik berisi beberapa botol
bekas air mineral. Celotehnya seakan tak pernah berhenti, mewarnai
perjalanan mereka. Mak Ijah sesekali tersenyum pedih bila anaknya
merajuk meminta jajan, atau berhenti di depan warung makan. Sepagi ini
belum sepotong makananpun masuk ke perut mereka, hanya air putih sisa
semalam yang tersisa.
“Ciiiitttt…. Gubraaaakkk…..” derit rem
mobil dan benturan keras mengagetkan keduanya. Di seberang jalan
tergeletak seorang ibu pengendara sepeda motor dan anak perempuannya
yang masih kecil. Dahinya berdarah, demikian juga siku dan lututnya.
Sementara si anak hanya lecet di siku dan dagunya, menangis ketakutan.
Mobil mewah yang tadi menabraknya, sudah kabur tak memperdulikan korbannya.
Sudah beberapa lama berlalu, tak ada
seorangpun yang berusaha membantu korban kecelakaan itu. Bergegas mak
Ijah menarik Badrun untuk mendekat, berusaha menolong. Tak
dipedulikannya tatapan aneh dan menyelidik dari orang orang di
sekitarnya.
Dibantunya ibu itu berdiri, lalu motor
yang ambruk itu di pinggirkannya ke tepi jalan. Disodorkannya gelas air
mineral yang tadi sempat dibelinya di warung seberang jalan pada si
anak, yang langsung meminumnya dengan lahap. Hati hati diteteskannya
obat luka pada dahi, lutut dan siku si ibu, lalu membalutnya dengan
sigap. Pengalamannya dulu sebagai anggota PMR sangat membantunya.
Sambil tersenyum mak Ijah minta diri, dan segera berlalu.
“Bu…bu…eh…mak…” ibu itu menjajari langkahnya, “ nanti dulu…saya belum tahu nama ibu…”
“Kenalkan, saya Miranti, dan ini anak
saya Dewi “ uluran tangan itu tak segera disambut oleh mak ijah. Dia
masih belum percaya bila perempuan cantik, wangi dan terpelajar itu mau
berkenalan dengannya.
“Panggil saja mak Ijah, bu eh non…
eh..maaf, bagaimana saya harus memanggil ? “ gagap jawaban mak Ijah.
Miranti mengibaskan tangannya perlahan.
“Panggil Miranti saja mak…. “ jawab Miranti lembut.
“Ini alamat rumahku, mak boleh datang
kapan saja…” Miranti mengulurkan selembar kartu nama, lalu pamit untuk
mengantarkan Dewi sekolah.
*****
Sudah dua bulan ini Badrun selalu meminta
mak Ijah mengantarkannya ke sekolah itu. Sesampainya di sana, Badrun
akan berdiri di sebelah pintu gerbang, sesekali melongokkan kepalanya ke
dalam. Badrun selalu bersemangat setiap hari Senin tiba. Dia akan
berdiri tegap, dengan sikap sempurna, ikut menghormat bendera Merah
Putih yang sedang dikibarkan. Suaranya selalu keras dan penuh semangat
saat menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Diam diam mak Ijah menyusut air matanya
yang mengalir deras. Hatinya serasa tercabik cabik melihat betapa
inginnya Badrun bersekolah. Yaah, usianya sudah 6 tahun, sudah waktunya
duduk di bangku Sekolah Dasar.
Mak Ijah tak menyadari bila Miranti sudah
berdiri di belakangnya sejak tadi. Dia terkesima dengan perilaku
Badrun. Bandingkan dengan siswa yang ada di dalam sana, mereka
menganggap upacara bendera ini sebagai beban. Di deretan sebelah kiri
nampak beberapa siswa asyik mengobrol, yang lainnya berdiri asal asalan.
Ada pula yang berjongkok, berlindung dari
panasnya matahari. Yang berdiri dalam sikap sempurnya hanya mereka yang
ada di barisan depan. Miranti mengelus dada, prihatin dengan sikap
mereka yang berkesempatan menikmati bangku sekolah.
“Mak….” Miranti menyentuh bahu mak Ijah, yang terlonjak. Kaget.
“Maaf, maaf…mengagetkan ya …”
Mak Ijah memandang wajah Miranti. Lama. Sejurus kemudian dia tersenyum, dan menyalami tangan Miranti.
“Kenapa belum ke rumah mak ?? saya tunggu
tunggu kok nggak datang…. “ tanya Miranti, pandangan matanya
menyelidik. Mak Ijah tersenyum malu.
“Saya malu non…. Takut disangka mau mengemis. .” jawab mak Ijah.
“Agama saya melarang untuk meminta
minta….” Sambungnya lagi. Miranti terhenyak. Tak menyangka bila seorang
pemulung seperti mereka punya sikap seperti itu. Tak mau meminta minta
??
Miranti mengendarai mobilnya dengan
lincah, Badrun tertawa tawa di sisi jendela. Rambutnya berkibar kibar
tertimpa angin dari kaca jendela, sementara mak Ijah hanya bisa
tersenyum. Senang sekali melihat bagaimana Badrun sangat menikmati
perjalanannya kali ini. Diucapkannya syukur kepada Allah, nyonya muda
itu tak sungkan mengajaknya ke rumah dengan mobil mewahnya. Dia seakan
tak takut jok beludru di kursi mobilnya menjadi kotor dan berbau sampah.
Yaaa… mak Ijah hanya seorang pemulung, lain dengan Miranti, seorang
istri pejabat di negeri ini.
*****
Badrun akhirnya bisa sekolah. Mak Ijah
memasukkan si bocah ke sebuah Sekolah Dasar di pinggiran kota. Lihatlah,
betapa cerianya dia pagi itu. Celana panjang warna merah, hem putih,
topi merah dan dasi merah bertengger di dadanya. Apik.
Sebuah tas punggung tergantung di
bahunya, sepatu hitam juga melindungi kedua kakinya. Tangannya menenteng
tas kecil berisi bekal makan siangnya. Mak Ijah terharu, anaknya
memulai hari dengan semangat menyala nyala.
Semua atas jasa baik Miranti, nyonya muda
yang pernah ditolongnya dulu. Meskipun Miranti meminta mak Ijah dan
Badrun tinggal di rumahnya, tetapi mak Ijah menolaknya dengan halus. Ia
tak ingin menjadi benalu di rumah gedong itu.
“Mak, biaya sekolah Badrun biarlah aku
yang menanggungnya. Mak tak usah khawatir soal itu. Nanti, tiap awal
bulan, mak berkunjunglah ke sini. Jangan sungkan, dan jangan takut….”
Urai Miranti.
“Pak Johan dan mang Asep sudah ku
beritahu. Mak tak usah ragu ragu untuk mengetuk pintunya…yaa..” panjang
lebar Miranti berbicara. Mata mak Ijah berkaca kaca, sangat terharu dan
berterima kasih pada nyonya muda yang baik hati ini.
*****
Mak Ijah tak pernah tahu, Badrun pernah
menyerahkan secarik kertas lusuh yang ditemukannya di tempat sampah
depan sekolahan itu pada Miranti saat berkunjung, bulan lalu. Dengan
takut takut, bocah itu meminta Miranti membacakannya. Matanya bersinar
sinar, penuh pengharapan. Hati Miranti terhenyak, tak menyangka bila
kertas lusuh berisi beberapa bait puisi itu menohok perasaannya.
mak, aku hanya bisa terdiam di sisi gerbang
kisi kisi besi itu tajam menahan langkahku
memasukinya, berkejaran di dalamnya, meraup segala yang guru ada
kisi kisi besi itu tajam menahan langkahku
memasukinya, berkejaran di dalamnya, meraup segala yang guru ada
kakiku kotor berjelaga, kumal kaus ku
dan sepotong celana belel, satu satunya
akankah sebanding duduk bersama
mereka, yang merdeka
menikmati surganya bangku sekolah
dan sepotong celana belel, satu satunya
akankah sebanding duduk bersama
mereka, yang merdeka
menikmati surganya bangku sekolah
aku, disini, tak selembar ribuanpun, kumiliki
Miranti menyadari, selama ini dia terlalu
egois dan tak pernah berusaha berbagi dengan orang orang di
sekitarnya. Rupanya Allah telah menyadarkannya, membuka hatinya, lewat
secarik kertas pemberian bocah kecil itu. Masih banyak anak-anak yang
tak seberuntung nasibnya seperti Dewi, anak semata wayangnya.
1 Komentar :
Sumpah ceritanya keren abisss
agung
089673917465
Anda sopan kami Segan
Cantumkan Link Sumber,
Mari saling menghargai