PEMULUNG DAN RUMAH YANG INDAH ~ ZiEVeR 0930

PEMULUNG DAN RUMAH YANG INDAH

No Comments
Mendung yang menggantung sore itu membuat Banu mempercepat langkahnya. Keranjang bambu di punggungnya belum separuhnya terisi meskipun dia berangkat dari rumah petaknya sejak pagi buta.
Bayangan wajah emak yang terbaring sakit memenuhi pelupuk matanya. Tak terasa air mata mengembun, pertanda kesedihan teramat dalam di hatinya.
“Huss….huss….ayooo jangan di situ. Sebentar lagi para tamu akan datang…..” tiba tiba seorang Satpam menghalaunya saat langkah Banu terhenti di depan gerbang sebuah rumah besar yang dihias indah. Ada pesta meriah rupanya. Meja disusun berderet memanjang , berbagai hidangan prasmanan tertata rapi di atasnya, menguarkan aroma yang menggugah selera.
Banu menghela nafas, mengisi paru parunya dengan udara sepenuh mungkin. Harum masakan yang terhidang membuat keruyuk di perutnya semakin terasa. Sambil menunduk, Badrun berlalu.  “andai emak bisa mencicipi sedikit, tentu ia akan segera sehat……” gumamnya sedih.
***
Menjelang tengah malam, Banu telah berdiri bersandar tiang listrik di seberang gerbang rumah besar itu. Dengan sabar, ditunggunya pembantu rumah itu menyelesaikan pekerjaannya. Di kejauhan, dilihatnya bi Siti membuka gerbang dan celingak celinguk seperti mencari seseorang.
Wajahnya segera cerah ketika dilihatnya Banu mendekat. Segera diulurkannya tas plastik hitam berisi beberapa tusuk sate ayam, sisa nasi dan seplastik kuah sop. Tangan Banu belum sepenuhnya terulur ketika pentungan karet pak Satpam menahan bungkusan itu. Bi Siti yang terkejut justru menjatuhkannya hingga isinya berserakan.
“mang Jali….. bikin kaget aja….” Gemetar suara bi Siti, antara takut dan kaget.
“siapa yang suruh …haa?” hardik pak Satpam, matanya melotot marah.
“ini jatah bibi mang…..sengaja bibi berikan buat emaknya……” jawab bi Siti, dagunya terarah kepada Banu. “kasihan, sudah seminggu ini terbaring sakit. Banu masih terlalu kecil untuk menanggung semua beban ini…..” lanjutnya. Air mata berderai membasahi pipi keriputnya.
“tidak boleh….ayoooo pergi…pergiiii…..” hardik mang Jali, pentungannya teracung pada Banu yang berjongkok ketakutan.
Dengan langkah berat Banu menjauh. Bi Siti mengusap air matanya sambil berbalik masuk. Tanpa disadarinya Pak Ibrahim telah berdiri di belakang, memperhatikan tingkah mereka sejak tadi.
“mang Jali……sini…..”
“siapa yang mengijinkanmu menghardik bocah seperti itu haa?” gelegar suara Pak Ibrahim.
“hayoooo….panggil bocah itu kemari. Cepaaatt” sentaknya lagi. Mang Jali pun terbirit birit menyusul Banu.
“bi Siti, tolong bungkuskan untuk bocah tadi. Kudengar emaknya sedang sakit” kata Pak Ibrahim lembut. Matanya berkaca kaca. Bi Siti mengangguk, lalu bergegas ke dalam rumah.
***
Dua puluh tahun yang lalu, kehidupan Ibrahim kecil sangatlah sulit. Penghasilan ayahnya yang bekerja sebagai buruh tani, dan ibunya yang membantu memasak di rumah tetangga sangat tidak mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari hari.
Tak jarang, Ibrahim kecil terpaksa menjadi pengumpul barang bekas yang didapatnya dari rumah teman teman sekolahnya. Pada awalnya ia sangat malu dan minder, karena pekerjaannya itu. Ditambah lagi uang sekolahnya yang sering terlambat dibayarkan membuat ia sering menjadi bahan olok olok di sekolahnya.
Sebelum meninggal, ayahnya pernah berpesan padanya. “ tak ada yang akan menghinamu lagi bila kau pintar dan jujur nak.” Pesan itu diingatnya baik baik, sebagai pemicu semangatnya untuk belajar dan bekerja membanting tulang.
Usahanya tak sia sia, kerja keras dan ketekunannya membuahkan hasil yang menggembirakan. Ibrahim berhasil menembus SMP favorit dan memperoleh bea siswa. Begitupun di tingkat SLTA, ibunya tak pernah mengeluarkan sepeser uangpun untuk membiayainya.
Dengan uang tabungannya, Ibrahim menyewa lahan dan menjadi pengepul barang bekas. Kejujuran dan kepintarannya telah terkenal di kalangan pemulung, toko langganannya dan beberapa kompleks perumahan di sekitar rumah petaknya. Ibrahim berhasil menjadi bos pengepul, dan kehidupannya berubah drastis.
Sayang ibunya tak sempat menikmati keberhasilannya itu lebih lama. Dia meninggal saat Ibrahim sedang mengirim barang ke Surabaya tanpa sempat tahu bila Ibrahim mendapatkan kepercayaan dari boss besar di sana.
***
Melihat Banu, Pak Ibrahim seperti melihat kembali masa lalunya yang kelam. Hidup kekurangan, ditinggalkan ayah saat masih belia, harus banting tulang …………. Dia menghela nafas, hatinya pedih tersayat sayat.
“sini…..sini nak….” Tangan Pak Ibrahim menggandeng Badrun yang gemetar ketakutan. Dia tersenyum dan mendudukkan bocah itu di kursi beranda.
Bi Siti muncul dari pintu samping. Di tangannya ada sebuah bungkusan dan kantung plastik besar berisi pakaian bekas.
Dengan lembut Pak Ibrahim mengulurkan bawaan itu kehadapan Badrun. Dirogohnya kantung celana, diangsurkannya segulungan uang ke tangan bocah kecil itu.
Sambil menangis Banu menerima semua pemberian itu. Mulut mungilnya tak henti hentinya mengucap terima kasih. Bi Siti diam diam mengucap syukur sambil menyusut air matanya. Pak Ibrahim tersenyum, dan segera menyuruh pembantunya mengantar bocah itu pulang.
“terima kasih pak….saya permisi sekalian pulang” bi Siti mengangguk hormat dan menggandeng Banu ke pintu gerbang. Mang Jali termangu mangu, dan membiarkan mereka berlalu menembus gelapnya malam.
Sayup sayup terdengar teriakan Bu Ibrahim dari dalam rumah. Mang Jali menebalkan telinganya, tak mau mendengar gerutu dan omelan majikan perempuannya itu.
Dia sudah hapal betul kelakuan nyonyanya yang terkenal sangat pelit. Sudah bisa dibayangkannya bagaimana Pak Ibrahim akan duduk diam di kursi tamu, sementara bu Ibrahim menuding-nuding di depannya sambil berkacak pinggang.
***
“siapa suruh kau bagi bagi makanan pak?” tanya bu Ibrahim sambil mondar mandir di hadapannya.
“aku teringat masa kecilku yang suram bu”…….. jawab pak Ibrahim, ditundukkannya wajahnya dalam dalam.
“itu makanan mahal pak….kau tahu itu….” Masih dengan nada tinggi bu Ibrahim menyela, kesal.
“kau boleh potong jatah makan malamku bu, kalau makanan yang kuberikan tadi sangat berarti buatmu” kata pak Ibrahim lembut. Kali ini sengaja tak didebatnya kata kata istrinya, berharap kemarahan itu segera mencair dan mereda.
“lagi pula itu makanan sisa pesta tadi, paling hanya kau buang ke tempat sampah….” Sahutnya lagi. Tak dipedulikannya muka masam isterinya.
Bu Ibrahim mendengus kesal. Sambil membanting bantal kursi dia berlalu ke kamarnya. Dihempaskannya pintu itu sekuat tenaga hingga berdebum. Pak Ibrahim terlonjak, kaget. Dipeganginya dada sebelah kiri yang tiba tiba nyeri. Sambil meringis menahan sakit, dia mencari mang Jali ke depan.
“Mang Jaliiiii…..mang Jaliiiii….” Serunya, lalu iapun terjatuh di teras.
***
Bu Ratna, istri Pak Ibrahim menangis tersedu sedu di samping pembaringan suaminya. Rasa sesal memenuhi rongga dadanya. Semalaman dia gelisah menanti suaminya mengetuk pintu kamar dengan mengiba iba seperti biasanya, tetapi hingga pagi menjelang suaminya tak kunjung mendekat.
Rupanya sebelum di bawa ke rumah sakit, Pak Ibrahim sempat berpesan pada Mang Jali agar tak memberi tahu istrinya. Dia tak ingin kecerewetan istrinya menambah sakit perasaannya. Sudah terlalu lama ia memendam sakit hati di dadanya. Dia merasa tak berdaya dihadapan istri yang sangat dicintainya itu.
“paaakk…..kenapa paaakk….” Rintih bu Ratna. Matanya sembab, tangannya gemetar mengelus pipi suaminya yang tertidur karena pengaruh obat.
“bu Ibrahim…..” dokter jaga menerobos masuk ke kamar.
“saya dok….”
“kita bicara sebentar. Bisa ke ruangan saya?” dr. Damar mendahului, bu Ratna mengekor di belakangnya.
“Pak Ibrahim terkena serangan jantung bu…apakah semalam ibu dan bapak bertengkar?” tanya dokter hati hati.
Bu Ratna mengangguk.
“sebaiknya perasaan bapak dijaga benar benar. Jangan membuatnya terkejut, tertekan dan memikirkan yang berat berat untuk sementara ini sampai kondisi Pak Ibrahim benar benar pulih” lanjut dr Damar.
“saya usahakan dok…..lalu apa yang harus saya lakukan sekarang?”
“Pak Ibrahim biar istirahat barang sehari dua di sini sambil menunggu hasil observasi. Besok kita akan melihat apakah bapak bisa dibawa pulang” panjang lebar jawab dr Damar.
“baiklah….ini dulu yang saya sampaikan bu. Yang sabar yaa…..” dr Damar menepuk pundak bu Ratna perlahan.
***
Tanpa sepengetahuan bu Ratna, suaminya telah memanggil pengacara pribadinya ke rumah sakit. Selama ini bila bu Ratna menunggui, Pak Ibrahim berpura pura masih sakit dan tak bisa apa apa. Bu Ibrahim dengan sabar akan menyuapinya, mengingatkan waktunya minum obat, dan menyeka keringat serta memandikannya setiap sore. Dia berubah lebih sabar dan perhatian. Sesekali Pak Ibrahim tersenyum di belakang punggung istrinya, dan sangat menikmati kasih sayang dan perhatian yang diberikan.
Anwar sudah tiga kali menjenguk Pak Ibrahim. Yang pertama dia datang sendirian, sementara pada kunjungan yang kedua, dia mengajak serta Banu. Bocah kecil itu mencium tangan Pak Ibrahim, lalu duduk berdoa sangat khusyuk sambil berlutut di samping tempat tidur.
Pada kunjungan yang ketiga, Anwar membawa beberapa bendel kertas yang disodorkannya ke hadapan Pak Ibrahim. Saat itu Bu Ratna sedang pulang ke rumah setelah menungguinya sejak pagi.
Berkas pengalihan kepemilikan perusahaan telah selesai ditanda tangani. Satu unit rumah sederhana, rekening tabungan dan biaya sekolah Badrun sudah beres diurus Anwar. Bi Siti mendapat rumah, kios kelontong di pasar dekat rumahnya dan juga tabungan. Pak Ibrahim tersenyum lega. Segala keinginannya sudah terpenuhi, meskipun tanpa sepengetahuan istrinya.
***
Pagi itu bi Siti sudah berdandan rapi, sebuah bungkusan besar teronggok di sampingnya. Mang Jali menenteng sebuah kardus besar dan berdiri di sampingnya.
Bu Ratna mondar mandir dengan gelisah. Kedua pembantunya minta berhenti bekerja secara bersamaan. Sambil bersungut sungut diulurkannya amplop berisi sisa gaji mereka, lalu berbalik arah. Tak dipedulikannya uluran tangan bi Siti, apalagi mang Jali. Dia hanya sedang menyembunyikan tangisnya.
Dering telepon membangunkannya pagi itu.
“bu Ratna….bu …mohon segera ke rumah sakit sekarang….” Suara panik dokter Damar terdengar di seberang telepon. Tanpa menjawab, bu Ratna segera menghambur ke jalan depan rumah dan menyetop taksi yang kebetulan melintas. Dia lupa tak mengunci pintu, apalagi menutupkan pintu gerbang.
Tergopoh gopoh ditujunya kamar perawatan suaminya. Dilihatnya kesibukan luar biasa di sana. Dokter Damar sedang memasang alat pacu jantung di dada Pak Ibrahim, sementara perawat sibuk mengecek aliran infus dan mengecek denyut nadi di tangannya.
Dilihatnya dokter Damar menggeleng lemah.
“tidaaaaakkkk….pak….paaaakkkk”
Bu Ratna jatuh pingsan.
Dengan wajah pucat pasi, mata sembab karena kebanyakan menangis, bu Ratna mengiringi jenasah suaminya di dalam ambulans pulang ke rumah. Tak ada Mang Jali yang biasa diomelinya, tak ada bi Siti yang bisa mendampinginya saat ini. Tak habis-habisnya dia menyesali sikapnya selama ini.
***
Betapa terkejutnya bu Ratna sesampainya di rumah. Pintu gerbang terbuka lebar, beberapa perabotan rumahnya berserakan di halaman.
Sambil melangkah menuju beranda bu Ratna sibuk mengingat ingat. Ditepuknya jidatnya perlahan. Dia lupa mengunci pintu rumahnya tadi.
Seolah melupakan jasad suaminya, bu Ratna histeris mengecek barang barang berharganya yang hilang.
Ruang tamunya berantakan, lemari di kamarnya bekas dijebol paksa. Tak ada lagi barang tersisa di sana.
“tidaaaakkkkk……………..”
Bruuuuggg. Bu Ratna jatuh pingsan.
***

Anda sopan kami Segan

Cantumkan Link Sumber,
Mari saling menghargai

Diberdayakan oleh Blogger.
-->