Mak.. Kapan aku akan sekolah ~ ZiEVeR 0930

Mak.. Kapan aku akan sekolah

1 comment
Mak, kapan aku boleh seperti mereka …” tunjuk Badrun. Matanya berkabut, seakan berharap dapat jawaban yang memuaskan hatinya.
Mak Ijah buru buru menarik tangan Badrun menjauhi gerbang sekolah. Hari ini mereka bangun kesiangan, dan tempat sampah di depan gerbang telah kosong, sebelum Mak Ijah dan Badrun mengais kertas, botol bekas air mineral dan apapun yang bisa mereka dapatkan. Disekanya air mata yang mengalir turun membasahi pipinya yang cekung. Derita hidup yang dihadapinya seakan jelas tergambar di sana.
“Nanti kalau mak sudah punya uang banyak, kau bisa ikut bersekolah di sana ya …..” kata mak Ijah lirih. Batinnya merintih sedih, “seandainya mas Karyo masih ada……” bisiknya, seolah kepada diri sendiri.
“Horeee…. Badrun boleh sekolah ya mak ? trus nanti pakai sepatu baru, tas baru, seragam baru seperti punya Dion ya mak ? “ celoteh riang anak semata wayangnya. Mak Ijah tersenyum melihat binar sepasang mata itu, jelas menyiratkan kebahagiaan.
*****
Mereka menyusuri jalanan yang mulai disesaki mobil pengantar yang menuju sekolah itu. Sekolah elite, sekolah unggulan, sekolah orang orang berduit…..dan apalah namanya. Mak Ijah tak dapat membayangkan berapa banyak uang yang harus dibayarkannya untuk Badrun, agar bisa bersekolah di sana.
Badrun menggandeng tangannya, sementara tangan yang satunya lagi menenteng karung plastik berisi beberapa botol bekas air mineral. Celotehnya seakan tak pernah berhenti, mewarnai perjalanan mereka. Mak Ijah sesekali tersenyum pedih bila anaknya merajuk meminta jajan, atau berhenti di depan warung makan. Sepagi ini belum sepotong makananpun masuk ke perut mereka, hanya air putih sisa semalam yang tersisa.
“Ciiiitttt…. Gubraaaakkk…..” derit rem mobil dan benturan keras mengagetkan keduanya. Di seberang jalan tergeletak seorang ibu pengendara sepeda motor dan anak perempuannya yang masih kecil. Dahinya berdarah, demikian juga siku dan lututnya. Sementara si anak hanya lecet di siku dan dagunya, menangis ketakutan.
Mobil mewah yang tadi menabraknya, sudah kabur tak memperdulikan korbannya.
Sudah beberapa lama berlalu, tak ada seorangpun yang berusaha membantu korban kecelakaan itu. Bergegas mak Ijah menarik Badrun untuk mendekat, berusaha menolong. Tak dipedulikannya tatapan aneh dan menyelidik dari orang orang di sekitarnya.
Dibantunya ibu itu berdiri, lalu motor yang ambruk itu di pinggirkannya ke tepi jalan. Disodorkannya gelas air mineral yang tadi sempat dibelinya di warung seberang jalan pada si anak, yang langsung meminumnya dengan lahap. Hati hati diteteskannya obat luka pada dahi, lutut dan siku si ibu, lalu membalutnya dengan sigap. Pengalamannya dulu sebagai anggota PMR sangat membantunya.
Sambil tersenyum mak Ijah minta diri, dan segera berlalu.
“Bu…bu…eh…mak…” ibu itu menjajari langkahnya, “ nanti dulu…saya belum tahu nama ibu…”
“Kenalkan, saya Miranti, dan ini anak saya Dewi “ uluran tangan itu tak segera disambut oleh mak ijah. Dia masih belum percaya bila perempuan cantik, wangi dan terpelajar itu mau berkenalan dengannya.
“Panggil saja mak Ijah, bu eh non… eh..maaf, bagaimana saya harus memanggil ? “ gagap jawaban mak Ijah. Miranti mengibaskan tangannya perlahan.
“Panggil Miranti saja mak…. “ jawab Miranti lembut.
“Ini alamat rumahku, mak boleh datang kapan saja…” Miranti mengulurkan selembar kartu nama, lalu pamit untuk mengantarkan Dewi sekolah.
*****
Sudah dua bulan ini Badrun selalu meminta mak Ijah mengantarkannya ke sekolah itu. Sesampainya di sana, Badrun akan berdiri di sebelah pintu gerbang, sesekali melongokkan kepalanya ke dalam. Badrun selalu bersemangat setiap hari Senin tiba. Dia akan berdiri tegap, dengan sikap sempurna, ikut menghormat bendera Merah Putih yang sedang dikibarkan. Suaranya selalu keras dan penuh semangat saat menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Diam diam mak Ijah menyusut air matanya yang mengalir deras. Hatinya serasa tercabik cabik melihat betapa inginnya Badrun bersekolah. Yaah, usianya sudah 6 tahun, sudah waktunya duduk di bangku Sekolah Dasar.
Mak Ijah tak menyadari bila Miranti sudah berdiri di belakangnya sejak tadi. Dia terkesima dengan perilaku Badrun. Bandingkan dengan siswa yang ada di dalam sana, mereka menganggap upacara bendera ini sebagai beban. Di deretan sebelah kiri nampak beberapa siswa asyik mengobrol, yang lainnya berdiri asal asalan.
Ada pula yang berjongkok, berlindung dari panasnya matahari. Yang berdiri dalam sikap sempurnya hanya mereka yang ada di barisan depan. Miranti mengelus dada, prihatin dengan sikap mereka yang berkesempatan menikmati bangku sekolah.
“Mak….” Miranti menyentuh bahu mak Ijah, yang terlonjak. Kaget.
“Maaf, maaf…mengagetkan ya …”
Mak Ijah memandang wajah Miranti. Lama. Sejurus kemudian dia tersenyum, dan menyalami tangan Miranti.
“Kenapa belum ke rumah mak ?? saya tunggu tunggu kok nggak datang…. “ tanya Miranti, pandangan matanya menyelidik. Mak Ijah tersenyum malu.
“Saya malu non…. Takut disangka mau mengemis. .” jawab mak Ijah.
“Agama saya melarang untuk meminta minta….” Sambungnya lagi. Miranti terhenyak. Tak menyangka bila seorang pemulung seperti mereka punya sikap seperti itu. Tak mau meminta minta ??
Miranti mengendarai mobilnya dengan lincah, Badrun tertawa tawa di sisi jendela. Rambutnya berkibar kibar tertimpa angin dari kaca jendela, sementara mak Ijah hanya bisa tersenyum. Senang sekali melihat bagaimana Badrun sangat menikmati perjalanannya kali ini. Diucapkannya syukur kepada Allah, nyonya muda itu tak sungkan mengajaknya ke rumah dengan mobil mewahnya. Dia seakan tak takut jok beludru di kursi mobilnya menjadi kotor dan berbau sampah. Yaaa… mak Ijah hanya seorang pemulung, lain dengan Miranti, seorang istri pejabat di negeri ini.
*****
Badrun akhirnya bisa sekolah. Mak Ijah memasukkan si bocah ke sebuah Sekolah Dasar di pinggiran kota. Lihatlah, betapa cerianya dia pagi itu. Celana panjang warna merah, hem putih, topi merah dan dasi merah bertengger di dadanya. Apik.
Sebuah tas punggung tergantung di bahunya, sepatu hitam juga melindungi kedua kakinya. Tangannya menenteng tas kecil berisi bekal makan siangnya. Mak Ijah terharu, anaknya memulai hari dengan semangat menyala nyala.
Semua atas jasa baik Miranti, nyonya muda yang pernah ditolongnya dulu. Meskipun Miranti meminta mak Ijah dan Badrun tinggal di rumahnya, tetapi mak Ijah menolaknya dengan halus. Ia tak ingin menjadi benalu di rumah gedong itu.
“Mak, biaya sekolah Badrun biarlah aku yang menanggungnya. Mak tak usah khawatir soal itu. Nanti, tiap awal bulan, mak berkunjunglah ke sini. Jangan sungkan, dan jangan takut….” Urai Miranti.
“Pak Johan dan mang Asep sudah ku beritahu. Mak tak usah ragu ragu untuk mengetuk pintunya…yaa..” panjang lebar Miranti berbicara. Mata mak Ijah berkaca kaca, sangat terharu dan berterima kasih pada nyonya muda yang baik hati ini.
*****
Mak Ijah tak pernah tahu, Badrun pernah menyerahkan secarik kertas lusuh yang ditemukannya di tempat sampah depan sekolahan itu pada Miranti saat berkunjung, bulan lalu. Dengan takut takut, bocah itu meminta Miranti membacakannya. Matanya bersinar sinar, penuh pengharapan.  Hati Miranti terhenyak, tak menyangka bila kertas lusuh berisi beberapa bait puisi itu menohok perasaannya.
mak, aku hanya bisa terdiam di sisi gerbang
kisi kisi besi itu tajam menahan langkahku
memasukinya, berkejaran di dalamnya, meraup segala yang guru ada
kakiku kotor berjelaga, kumal kaus ku
dan sepotong celana belel, satu satunya
akankah sebanding duduk bersama
mereka, yang merdeka
menikmati surganya bangku sekolah
aku, disini, tak selembar ribuanpun, kumiliki 
Miranti menyadari, selama ini dia terlalu egois dan tak pernah berusaha berbagi dengan orang orang di sekitarnya.  Rupanya Allah telah menyadarkannya, membuka hatinya, lewat secarik kertas pemberian bocah kecil itu.  Masih banyak anak-anak yang tak seberuntung nasibnya seperti Dewi, anak semata wayangnya.

1 Komentar :

Sumpah ceritanya keren abisss

agung
089673917465

Anda sopan kami Segan

Cantumkan Link Sumber,
Mari saling menghargai

Diberdayakan oleh Blogger.
-->